Rabu, 22 Agustus 2012

ETIKA BERDO'A

ETIKA BERDO'A


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Janganlah pencarianmu (doa-doamu) sebagai sebab untuk diberi sesuatu dari Allah Swt, maka pemahamanmu kepadaNya menjadi sempit. Hendaknya pencarianmu (doa-doamu) semata untuk menampakkan wujud kehambaan dan menegakkan Hak-hak KetuhananNya.”

Pencarian merupakan arah yang menjadi sebab terwujudnya kehendak yang harus ada. Pencarian, usaha, doa, ikhtiar merupakan rangkaian sebab-sebab menuju apa yang ingin diraih. Termasuk disini adalah berdo’a

Umumnya orang berdoa agar terwujud apa yang diinginkan. Berikhtiar agar tercapai apa yang dicita-citakan. Padahal dimaksud Allah Swt memerintahkan kita berdoa dan berupaya, semata-mata agar eksistensi kehambaan kita yang serta fakir, serba hina, serba tak berdaya dan lemah muncul terus menerus di hadapanNya. Bukan, agar kita bisa mewujudkan apa yang kita kehendaki, karena hal demikian bisa memaksa Allah Swt menuruti kehendak kita.

Pemahaman yang sempit tentang Allah Swt, akan terus menerus berkutat pada sikap seakan-akan Allah-lah yang mengikuti selera kita, bukan kehendak kita ini akibat kehendakNya, perwujudan yang ada karena kehendakNya, bukan disebabkan oleh kemauan kita.

Ketika manusia berdoa seluruh kehinaan dirinya, kebutuhan dirinya dan kelemahannya serta ketakberdayaannya muncul. Itulah hikmah utama dibalik berdoa. Ketika kita berikhtiar, pada saat yang sama kita menyadari betapa tak berdayanya kita. Sebab kalau kita berdaya, pasti tidak perlu lagi ikhtiar dan berjuang.

Di sisi lain, kita dituntut untuk terus menerus menegakkan Hak-hak KetuhananNya, bahwa Allah berhak disembah, berhak dimohoni pertolongan, berhak dijadikan andalan dan gantungan, tempat penyerahan diri, berhak dipuji dan dipatuhi, berhak dengan segala sifat Rububiyahnya yang Maha Mencukupi, Maha Mulia, Maha Kuasa dan Maha Kuat. Semua harus terus tegak di hadapan kita. Dan itu semua bisa terjadi manakala kehambaan kita hadir.

Ironi-ironi dalam ikhtiar dan doa kita sering terjadi. Kita lebih memposisikan sebagai “tuhan”, dengan banyak memerintah Tuhan agar menuruti kehendak kita, kemauan kita, proyeksi-proyeksi kita. Diam-diam kita menciptakan tuhan dan berhala dalam jiwa kita, agar dipatuhi oleh Allah Sang Pencipta. Inilah piciknya iman kita kepadaNya, yang sering memaksaNya sesuai dengan pilihan-pilihan kita, bukan pilihanNya.

Karena itu hakikatnya, menjalankan perintah doa itu lebih utama dibanding terwujudnya doa kita (ijabah). Ikhtiar kita hakikatnya lebih utama daripada hasil yang kita inginkan. Perjuangan kita hakikatnya lebih utama dibanding kemangan dan kesuksesannya. Ibadah lebih utama dibading balasan-balasanNya. Karena taat, doa, ikhtiar itu menjalankan perintahNya. Sedangkan balasan, ijabah, sukses, kemenangan, bukan urusan manusia dan tidak diperintah olehNya.

Banyak orang berdoa, beribadah, berikhtiar, tetapi bertambah stress dan gelisah. Itu semua disebabkan oleh niat dan cara pandangnya kepada Allah  Swt yang sempit. Sehingga, bukan qalbunya yang menghadap Allah Swt, tetapi nafsunya.

Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily, ra berkata: “Janganlah bagian yang membuatmu senang ketika berdoa, adalah hajat-hajatmu terpenuhi, bukan kesenangan bermunajat kepada Tuhanmu. Hal demikian bisa menyebabkan anda termasuk orang yang terhijab.”

Bahwa kita ditakdirkan bisa bermunajat kepadaNya, seharusnya menjadi puncak kebahagiaan kita. Bukan pada tercapainya hajat kebutuhan kita. Kenapa kita bisa terhijab? Karena kita kehilangan Allah Swt, ketika berdoa, karena yang trampak adalah kebutuhan dan hajat kita, bukan Allah Tempat bermunajat kita.

Oleh : KH. Lukmanul Hakim
          sufinews

Rabu, 15 Agustus 2012

Tasawuf Tanpa Thariqah sama dengan Nol

Tasawuf Tanpa Thariqah sama dengan Nol


Sebagian orang sering tumpang-tindih dalam memahami tasawuf dan tarekat (thariqah). Kadang, keduanya juga dianggap berdiri sendiri dan terpisah. KH Luqman Hakim yang dikenal sebagai pakar sekaligus pelaku thariqah membeberkan mengenai tasawuf, thariqah, mursyid, mu’tabaroh dan ghoiru mu’tabaroh, dan beberapa hal mengenai thariqah.


Berikut petikan wawancara Abdullah Alawi dari NU Online bersama KH Luqman Hakim beberapa waktu lalu dalam sebuah acara pertemuan para sufi dunia di Jakarta yang diselenggarakan oleh PBNU.

Bagimana kaitan antara tasawuf dan thariqah?

Orang yang bertasawuf tapi tidak bertarekat, itu nol. Orang bertoriqoh, tapi tak bertasawuf, juga nol.

Penjelasannya bagaimana?

Kalau orang bertasawuf saja, tapi tidak berthariqah, dia akan sulit mengamalkan ilmunya. Jadi, ibarat begini, untuk masuk ke dalam Masjidil Haram, lho pintunya kok banyak banget ini. Padahal dia kan butuh satu pintu saja untuk masuk. Nah, kalau dia ngawur, malah dia ingin manjat. Masjidil Haram masa dipanjat. Padahal udah ada pintunya. Atau begini, orang banyak sekali memiliki bumbu. Bumbunya sudah lengkap. Ini ilmunya sudah lengkap. Gimana ya, ngulek ini? Oh, dia butuh seorang pemandu. Kalau bikin sayur asem itu, ini bumbunya. Kalau sayur lodeh itu, ini bumbunya. Kalau dia ngawur, wah, saya punya bumbu lengkap. Saya bikin makanan yang lengkap juga. Semua bumbu diulek semua di situ. Begitu dimasak, rasanya jadi heran. Nggak kemakan. Banyak orang mabuk dia, sinting dia, nah, itu syetan masuk.

Tapi kalau sebaliknya, thariqah tanpa ilmu tasawuf itu bagaimana?

Artinya dia, ibaratnya, dia nggak tahu makanan itu beracun apa nggak. Dia nggak tahu porsi maknnya seberapa. Padahal kalau anda misalnya, mas ini satu meja ini berbagai makanan untuk anda. Kalau orang tidak punya tasawuf, ini milik saya semua. Makan semua kalau begitu. Keracunan dia. Padahal yang dibutuhkan satu piring. Ambil saja yang pas. Udah. Walaupun itu milik anda semua. Masak anda makan semua? Kalau nggak ada ilmunya, bisa-bisa begitu, kan.

Kalau sudah berthariqah, bukannya sudah berguru, dan kalau sudah berguru, bukannya secara otomatis sudah dibimbing?

Artinya, kalau gurunya, pasti sudah bertasawuf. Muridnya juga dibimbing bertasawuf. Diajarin ngaji, ini itu, itu sekaligus bertasawuf. Maksudnya begitu.

Di NU ada Jam’iyah Ahlu Thoriqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman). Nah, di Jatman terdiri dari berbagai thariqah. thariqahnya yang mu’tabaroh. Berarti kalau ada mu’tabaroh ada yang ghairu mu’tabaroh

Jadi, tarekat itu begini, mu’tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu hanya soal silsilah, sanad. Ada yang disebut tidak mu’tabaroh karena ada toriqoh yang sanad tidak jelas sampai ke Rasulullah. Kalau silsilah sanadnya ‘an ini ‘an ini sampai Rasulullah, jelas betul, sohibul musnid ini bener-bener diakui, oh ya, ini memang benar dari Rasulullah. Misalnya orang bikin sanad sendiri, nggak jelas, nggak dikenal semua, ya nggak mu’tabar. Gitu aja. Seperti hadist sohih, daif, hasan dan seterusnya.

Yang berhak mengatakan mu'tabaroh dan ghair mu’tabaroh itu siapa?

Itu kesepakatan kaum sufi, seperti kesepakatan ahli hadis. Ahli hadist sendiri menentukan ini sahih, ini daif, itu kan bukan dari Kanjeng Nabi. Itu kan kesepakatan komunitas aja.

Setuju dengan adanya label ghair mu’tabaroh kepada kalangan sufi tertentu? 

NU menolak memasukan sebagai toriqoh mu’tabaroh karena sanadnya ada yang tidak sampai Rasulullah. Jadi seperti itu. Banyak orang, oh saya mau bikin majlis zikir, itu bagus. Tetapi tidak disebut sebagai toriqoh, kan begitu aja. Jadi beginilah, di toriqah itu kan ada amaliyahnya. Amaliyahnya itu memang dari Rasulullah.

Diajarkan langsung?

Iya. Melalui zikir. Zikirnya begini. Rasulullah dulu mengajarkan kepada para sahabat itu ada yang satu per satu dipanggil. Ada yang lima orang dipanggil. Sepuluh orang dipanggil. Nah, dari masing-masing itu, mengajarkan pula kepada tabi’in ada yang satu per satu. Nah, ini kenapa sehingga toriqoh itu jadi banyak.

Tapi kenapa penamaan thariqah, misalnya pas zaman Syeikh Abdul Qodir, sementara dia lahir jauh masa Nabi?

Makanya penamaan itu pun tidak mutlak. Suatu ketika, sebenarnya alurnya ini sama dengan Syekh Abdul Qodir, tapi suatu ketika tokoh utamanya, misalnya Tijani, syekh Tijani. Padahal dia sebelumnya, adalah orang Qodiriyah. Itu contohnya. Jadi, ada yang alurnya nanti sanadnya ada yang melalui Abu Bakar, melalui Sayidina Anas, Sayidina Ali. Nah, ini sanadnya itu tadi, sayidina Umar, sayidina Utsman pun ada. Ada yang Uwais al-Qorony, ada. Nabi itu kenapa berbeda-beda ngajarin zikir karena masing-masing harus mengamalkan menurut format sakilah. Sakilah itu menurut kemampuan indiviidual, spiritual masing-masing yang berbeda-beda. Oh, ini yang pas zikirnya Allah saja. Yang ini La Ilaha Illallah. Ini solawatnya begini. Solawatnya kadang berbeda-beda

Berarti kalau  begitu, Nabi Muhammad itu sebagai, katakanlah seorang mursyid itu mengetahui watak para sahabat?

Lha iya. Dan seorang mursyid yang benar harus tahu si murid, calon murid ini bentuknya gelas, apa piring, apa coet. Oh, kalau piring, nasi isinya. Jangan coca cola. Kalau gelas ya, minuman, jangan diisi sambel.

Tapi ada yang harus dibacakan secara umum oleh murid-murid di seluruh thariqah?

Ya, kalau umum itu, kalau makan itu, ibarat nasinya. Nasinya sama, lauknya yang berbeda-beda. Seorang mursyid harus tahu.

Dan itu sudah ada dalam diri mursyid ya? Nggak bisa dipelajari?

Makanya di Al-Quran, surat Kahfi itu, disebutkan waman yudlil falan tazida lahu, waliyyam mursyida. Siapa yang hidupnya dholalah, tersesat, maka dalam hidupnya tidak akan menemukan waliyyan mursyida. Seorang wali yang mursyid. Syarat seorang mursyid harus wali. Banyak wali, tapi belum tentu mursyid. Banyak mursyid, belum tentu wali.

Bagaimana penjelasannya?

Kan banyak mursyid-mursyid itu. Belum tentu dia itu, memiliki kapasitas waliyyan mursyida.

Kalau begitu, tipikal mursyid itu bagaimana?

Mungkin dia masih punya mursyid lagi. Dia hanya diberi lisensi untuk ngajarin thariqah. Tapi posisinya ini bukan mursyid, sebenarnya. Tapi ada yang mengaku mursyid, begitu.

Kayak khalifah, begitu, ya?

Iya. Khalifah ya khalifah.

Kalau nggak salah, saya pernah mendengar tipikal mursyid yang kamil mukamil? 

Kamil mukamil itu sama dengan waliyyam mursyida.

Ada kamil. Ada mukammil?

Kamil mukamil adalah mursyid yang sudah paripurna. Suduh wushul dia sendiri kepada Allah dan diberi opsional, yang memang dari Allah juga untuk membimbing seseorang supaya sampai juga kepada Allah, jiwanya. Sempurna dan juga bisa menyempurnakan orang lain mukammil lighairih.

Pak, kalau melihat sejarah, tasawuf dan kalangan tarekat pernah dituding sebagai penyebab kemunduran umat Islam? Bagaiamana ini, pak?

Itu akibat tekanan sosial, politik, ekonomi, macam-macam, lalu dia lari ke tarekat, dalam kondisi ekslusif. Ada lagi yang dia memang, dia memerankan betul bahwa thariqah itu sebenarnya Islam yang utuh. Jadi, begini, saya sering menggambarkan proses spiritualnya Nabi, di dalam Isra’ Mi’raj. Nabi, ketika mi’raj itu meninggalkan semuanya. Segala hal selain Allah ditinggalkan. Ketika begitu, kelihatannya ekslusif, nih. Begitu ketemu Allah, rupanya belum puncak. Oleh Allah, kamu sekarang dapat tugas, balik ke dunia. Orang sufi yang benar, dia kembali ke dunia. Iya, menjadi biasa lagi. Tidak tampilnya eksklusif. Ini belum selesai nih tasawufnya. Apalagi yang mazdub, wah… belum selesai. Proses.

Justru ketika Nabi ketemu Tuhan itu bukan puncak, ya? 

Bukan. Puncaknya ya ketika kembali ke dunia. Tapi ke dunia bersama Allah sehingga rahmatan lil alamin.

Anggapan penyebab kemunduran umat Islam itu bagaimana?

Itu yang diamati sufi-sufi yang belum selesai tadi.

Kalau misalnya seseorang, saya misalnya, dengan cara yang entah, kemudian, tiba-tiba bisa ketemu seorang mursyid itu karena apa? 

Ya macam-macam. Orang bertemu seorang mursyid itu karena macam-macam. Faktor itu nggak bisa kita duga. Bisa karena kita mencari, baru ketemu. Ada orang yang ngak sengaj, ketemu. Ada orang yang, begini, ibarat berjalan. Ada orang tiba-tiba ketemu di jalan. Ada yang bisa tiba-tiba-tabrakan di jalan. Lho, siapa ini? Mursyid ternyata.

Itu udah petunjuk Tuhan?

Ya.  Cara Allah saja. Tapi kalau orang yang sedang mencari mursyid, itu biasanya ditaqdirkan berthariqah. Tanda-tandanya begini. Kalau belum ketemu, itu soal lain. Suatu ketika akan berthariqah.

Bapak sendiri pengamal thariqah juga?

Ya ada. Sadziliyah, Qodiriyah, Naqsyabandiyah. Tiga.

Bisa mengikuti tiga thariqah berbarengan?

Asal mursyidnya satu. Ibarat kapal, ini ada kapal, sekoci-sekoci, tapi nakhodanya satu. Kalau oh ini ada kapal, kapal, nakhodanya sendiri-sendiri, nggak bisa. Naik sebelah mana? Atau satu nih, nakhodanya banyak. Bingung. Nggak bisa. Silakan kita belajar kepada ulama, kiai, macam-macam ilmu pengetahuan. Tapi soal toriqoh, mursyidnya harus satu.

Kenapa?

Kalau belajar itu kan ibarat membuat menu yang bagus. Ibarat mobil, bengkel sana yang bagus, bengkel sini yang bagus. Tapi tujuan mobil ini kemana, ini harus ada satu tujuan.

Bukannya tujuan setiap thariqah itu sama?  Menghadap Gusti Allah?

Semua sama. Ini berkaitan dengan mursyid itu harus satu. Hati kita itu menolak untuk terbelah, sebenarnya.

Mursyidnya siapa, Pak?

Syekh Solahudin Abdul Jalil Mustaqin dari Tulung Agung.

Ada tokoh sufi atau buku yang paling dikagumi? 

Saya sangat mengagumi kitab al-Hikam.

Ibnu ‘Athoillah?

Ya.

Kenapa?

Karena Ibnu ‘Athoillah itu menyederhanakan wacana tasawuf yang universal sekali, disederhanakan beliau. Dari satu hikmah ke hikmah lain itu adalah urutan perjalanan psikografic para penempuh jalan Allah. Mengalami semua. Semua pengamal thariqah mana pun, mengalami seperti yang di al-Hikam itu. Ada lagi satu kitab, yang saya terjemah juga ke Indonesia, yaitu Risalatu Qusyairiyyah. Kitabnya al-Qusyairi itu kitab utama dalam dunia sufi. Ada lagi kitabnya Abu Thalib Al-Makki. Saya juga kagum sama tafsirnya Syekh Abdul Qodir Al-Jilani, yang enam jilid, yang baru ditemukan oleh cucunya itu. Kitab tafsir yang terbaik di dunia, sekarang ini, karena memadukan syariat dan tasawuf.

Apa nama tafsirnya, Pak?

Tafsir al-Jilani.

Kok bisa baru ditemukan, Pak?

Ditemukan oleh cucunya selama 30 tahun riset beliau dari berbagai perpustakaan di dunia, dan terbagus, terlengkap di Vatican.

Berceceran begitu, ya?

Iya.

Di Sunda, Manaqib Syekh Abdul Qodir Jilani dinamakan Layang Syekh. Itu sudah menyunda sekali. Orang sudah nggak paham, bahwa dulunya ini kegiatan orang thariqah. Itu bagaimana?

Itu nggak apa-apa. Ibaratnya begini, kalau toriqoh itu sebuah pohon, Qodiriyah, pohon ini, berbuah. Dia hanya memetik salah satu buahnya saja. Tapi tidak bisa diklaim ini adalah sebuah pohon, daun, bunga, dan buah. Salah satu buah saja.

Kalau yang semuanya, ya masuk thariqah itu?

Iya. Kita berharap sebanrnya, pelajaran tasawuf harus mulai masuk kurikulumnya mulai TK  sampai perguruan tinggi Islam.

Pendidikan Akhlak, Akidah Akhlak yang ada sekarang itu nggak cukup?

Nggak cukup. Jadi, karena begini, kalau kita lihat buku agama, itu isinya, iman, islam dan taqwa. Ihsannya itu hilang kemana. Hanya saja bagaimana dirumuskan, tasawuf untuk anak TK itu bagaimana. Sebenarnya yang mengajari akhlak juga sebanrnya buah dari tasawuf juga. Tapi harus lebih diperdalam. Misalnya zikir apa yang bisa membimbing anak-anak itu terus-menerus dengan Allah. Kalau saya begini, ngajarin tasawuf itu dari bayi. Contohnya, biasanya ibu-ibu, kalau punya anak, selalu mengajari anak-anak dengan ucapan bayi pertama kali; papa, mama, ibu, bapak, kalau saya nggak. Kalimat yang diajarkan pertama adalah Allah. Entah kedengarannya awoh, awoh, awoh. Allah.

Di pelajaran, ada iman, ada Islam, dan ihsannya nggak ada. Apakah itu dimungkinkan karena tasawuf itu tidak terukur? Atau memang bagaimana?

Karena memang belum tersistematisir. Seperti ketika dalam munculnya ilmu tasawuf itu muncul baru di abad ketiga hijriyah. Kenapa tidak muncul di zaman sahabat? Karena, kata NABI, sebaik-baik abadku, khoiru quruni, qorni, tsuma qorni, tsuma qorni, tiga abad. Tiga abad ini, umat Islam masih utuh. Setelah itu, nggak karuan akhlaknya. Inilah, para sufi bergerak untuk mensistematisir, menulis buku tasawuf, ini, dan seterusnya. Dulu kenapa nggak ditulis, nggak kayak fiqih? Lha, orang kepribadiannya masih bagus semua, masih utuh.

Thariqat dan Doa-doa Gus Dur 2 (Habis)

Thariqat dan Doa-doa Gus Dur 2 (Habis)




PADA AWALNYA, shalawat atas Nabi dianggap sebagai doa bagi Nabi, karena kecintaan kepadanya. Akan tetapi dalam perjalanannya ia kemudian dipandang sebagai puji-pujian dan penghormatan untuk Nabi yang hidup di samping Tuhan. Praktik ini memperoleh legitimasi dari kitab suci Al-Qur’an.
Tuhan mengatakan, “Jika engkau mencintai Tuhan, maka ikutilah Nabi. Maka Tuhan akan mencintaimu," Dan bukan hanya manusia yang dianjurkan Tuhan untuk membaca salawat (penghormatan) untuknya, melainkan juga Tuhan sendiri dan para Malaikat. Tuhan mengatakan :

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِى يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّو عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْماً

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:56).

Shalawat dianggap syarat penting agar doa dikabulkan. “Permohonan (doa) akan dianggap berada di luar pintu langit sampai orang yang berdoa itu mengucapkan shalawat untuk Nabi.”

Penyair Turki abad pertengahan, Asyiq Pasha, mengingatkan orang-orang senegerinya tentang eksistensi primordial Nabi Muhammad saw, yang menjadi suatu segi yang begitu penting dalam profetologi mistikal:

Adam masih berupa debu dan lempungMuhammad telah menjadi NabiDia telah dipilih TuhanUcapkan shalawat untuknya(Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan Tuhan, hlm. 145).

Kaum sufi di manapun berada selalu membaca shalawat berkali-kali baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam jama’ah (kumpulan/kelompok), untuk mengantarkan permohonannya kepada Tuhan. Mereka gemar sekali menyenandungkan do’a shalawat itu dalam bentuk puisi-puisi yang indah. Annemarie Schimmel, pakar mistisisme Islam, pengagum berat Ibn Arabi dan Rumi, menginformasikan bahwa di beberapa kalangan Afrika Utara orang bisa  mendatangi pertemuan-pertemuan shalawat di mana orang itu ikut serta dalam doa bersama untuk Nabi dan berharap agar permintaan yang diucapkan dalam pertemuan semacam itu akan segera dikabulkan. Salah satu do’a shalawat yang popular di sana adalah Doa Pelipur Cordova. (Annemarie, hlm. 143).

“Wahai Allah, berkahilah dengan berkah yang istimewa tuan kami, Muhammad, yang olehnya segala kesulitan terpecahkan, segala kesedihan terhiburkan, segala masalah terselesaikan, yang melaluinya hal yang diinginkan dapat dicapai dan yang dari air mukanya yang mulia awan meminta hujan, dan berkahilah keluarganya dan sahabat-sahabatnya”.

Betapa pentingnya shalawat atas Nabi saw untuk mengawali do’a kepada Tuhan, mengingatkan saya pada Qasidah Burdah, karya sufi penyair Imam Bushairi. Bushiri, sastrawan sufi legendaries abad ke 13, menulis kasidah ini ketika dia mengalami sakit berkepanjangan, stroke.

Sepanjang hari sepanjang malam dia berdoa sampai begitu lelah dan tertidur. Suatu malam ia bermimpi bertemu nabi. Nabi yang mulia mengusapkan tangannya ke wajah Bushairi lalu menyerahkan selendangnya (burdah). Bushairi terjaga dari mimpinya dan melihat dirinya tak lagi sakit.  Semula kumpulan Nazham (puisi-sajak) dengan akhir huruf mim (karena itu biasa disebut ;  Al-Mimiyah) diberi judul panjang: Al-Kawakib al-Durriyyah fi Mad-hi Khairi al-Bariyyah (Bintang-Gemintang berpendar gemerlap yang memuji Manusia Paripurna). Akan tetapi karena terlalu panjang hingga menyulitkan orang menyebut dan mengingatkannya, maka diambillah kata “Al-Burdah al-Bushiri” (selimut atau selendang).

Ketika saya di ke Iskandariyah, Mesir, tahun 1982, saya menyempatkan diri ziarah dan berdo’a di pusara penyair sufi besar ini, tidak jauh dari makam sufi besar; Said Mursi. Di pesantren, saya sempat menghapalnya meski serba sedikit. Tetapi banyak santri yang hapal di luar kepala. Di Universitas Kairo, kasidah ini diajarkan pada setiap hari Kamis dan Jum’at.

Di bawah ini adalah beberapa saja dari bait puisi Bushairi yang seluruhnya berisi 160 bait, yang masih saya hapal. Sebuah Puisi yang memperlihatkan kerinduan Bushairi kepada Nabi Saw. Kasidah ini didendangkan dengan bahar(nada dan ritme) Basith : Mustaf’ilun fa’ilun.


أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِى سَــــلَمٍ    مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِـــدَمِ
أَمْ هبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَـــةٍ    وأَوْمَضَ الْبَرْقُ فِي الظَّلْمَاءِ مِنْ إِضَـمِ
فَمَا لِعَيْنَيْكَ إِنْ قُلْتَ اكْفُفَا هَمَتَــا    وَمَا لِقَلْبِكَ إِنْ قُلْتَ اسْتَفِقْ يَهِــــمِ
أَيَحْسَبُ الصَّبُّ أنَّ الْحُبَّ مُنْكَتِـــمٌ    مَا بَيْنَ مُنْسَجِمٍ مِنْهُ وَمُضْطَّــــــرمِ
لَوْلَا الْهَوَى لَمْ تُرِقْ دَمْعاً عَلَى طَـلَلٍ    وَلَا أرقْتَ لِذِكْرِ البَانِ والعَلــــمِ
فَكَيْفَ تُنْكِرُ حُبّاً بَعْدَ مَا شَــهِدتْ    بِهِ عَلَيْكَ عَدُوْلُ الدَّمْعِ وَالسَّــــقَمِ
وَأَثْبَتَ الوَجْدُ خَطَّيْ عَبْرةٍ وَضَــنىً    مِثْلَ البَهَارِ عَلى خَدَّيْكَ وَالْعَنَــــمِ
نَعَمْ سَرَى طَيْفُ مَنْ أَهْوَى فَأَرَّقَـنِي    وَالْحُبُّ يَعْتَرِضُ اللَّذَّاتَ بِالْأَلَــــمِ
يَا لَائِمِي فِي الْهَوَى الْعُذرٍيِّ مَعْذِرَةً    مِنِّي إِلَيْكَ وَلَوْ أَنْصَفْتَ لَمْ تَلُــــمِ
Aduhai, apakah karena kau rindu
pada tetangga di kampung Dzi Salam
Air bening menetes satu-satu
Dari sudut matamu
Bercampur darah

Ataukah karena semilir angin
yang berhembus
dari Kadhimah
Dan kilatan cahaya
dalam pekat malam

Apakah kekasih mengira
Api cinta yang membara di dada
Dapat dipadamkan air mata?
Andai bukan karena cinta
Puing-puing tak mungkin basah airmata

Andai bukan karena cinta
Matamu tak mungkin jaga sepanjang malam
Membayangkan keindahan gunung gemunung
Dan semerbak pohon kesturi
Dan tinggi semampai pohon pinus

Mana mungkin kau ingkari cintamu
Padahal ada saksi menyertaimu
Ketika air matamu berderai-derai
Dan kau jatuh sakit begitu memelas
Dukamu menggoreskan
Tetes air mata dan luka
Bagai mawar kuning dan merah
Pada dua pipimu yang ranum

Ya, aku melihat kekasihku
Berjalan ketika malam muram
Hingga mataku selalu terjaga
Cinta telah mengganti riang jadi nestapa


Seluruh do’a, dzikir dan shalawat atas Nabi ditujukan kepada Allah, hanya kepada Dia, tidak kepada yang lain, termasuk tidak kepada Nabi Muhammad Saw. Karena hanya Dialah Pemilik segala, hanya Dialah Penguasa atas semesta raya dan hanya Dialah Yang mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya.

Dialah Titik Pusat dari segala. Pengaduan kepada manusia, siapapun dia, akan kegundahan dan curahan hati karena kemelut hidup yang acap kali datang menghempaskan jiwa dan pikiran, seringkali mengecewakan. Mereka tak mampu memberi jalan terang, dan tak bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan yang terus dan terus mengalir bagai air yang sangat deras. Mereka acapkali juga sibuk dengan urusan dan kegalauannya sendiri-sendiri. Mereka juga membutuhkan kepentingan hidup yang juga terus mengejar mereka siang dan malam. Tetapi tidak bagi Tuhan. Dia tidak membutuhkan apa-apa dan siapa-siapa. Sebaliknya Dialah Yang selalu Memberi. Dia bahkan amat senang jika hamba-hamba-Nya meminta.

Gus Dur pastilah sangat mengenal bait-bait puisi Burdah al-Bushiri di atas, bahkan sebagian atau semuanya mungkin dihapal dengan baik. Saya meyakini hal itu pada Gus Dur, karena kedua Qasidah Burdah di atas amat popular di kalangan para santri.
Mereka menghapalnya lalu mendendangkannya dengan nada-nada lagu yang indah dalam acara-acara yang relevan. Hal yang sama juga dilakukan mereka dalam Burdah Madaih atau Na’tiyah, karya Ka’ab bin Zuhair. Burdah ini berisi penghormatan dan pujian kepada Nabi. Ia dikenal dengan Qasidah “Banat Su’ad” (putri-putri Su’ad). Ini karena Qasidah Burdah yang terdiri dari 58 bait ini diawali dengan kalimat :

بانتْ سُعادُ  فقلبي اليومَ متبولُ ...      مُتيمٌ إثرها، لْم يُفدَ مكبُولُ

Ka'ab Bin Zuhair, adalah seorang penyair terkenal pada masanya. Ia suka sekali mencacimaki Nabi. Sikap itu membuat hidupnya jadi galau. Ia lalu menemui Nabi dan menyanyikan kasidah tersebut di hadapan beliau. Nabi begitu senang mendengarnya, lalu memberinya selendang (burdah) yang sedang dikenakannya. Kiai Sa’id Aqil Siraj, ketua umum PBNU, sering menyanyikan puisi-puisi ini manakala memberikan pengajian umum di berbagai pesantren dan pada komunitas warganya: Nahdlatul Ulama. Ia hapal di luar kepala kedua qasidah burdah itu.

Sebagian orang, sebut saja antara lain kelompok Wahabi di Saudi Arabia, menyebut “tawassul” dengan salawat seperti ini sebagai praktik kemusyrikan (menyekutukan Tuhan). Tawassul, menurut mereka berarti meminta kepada manusia, meskipun ia seorang Nabi dan kekasih-Nya, bukan kepada Tuhan. Kita telah maklum Wahabi adalah kelompok tekstualis. Mereka memaknai segala teks secara harfiyah, dan tidak setuju dengan pemaknaan metaforis (majaz) dan aforisme-aforisme sufistik. Biarkan saja, tak mengapa. Itu hak mereka. Dan itu menunjukkan batas pengetahuan mereka. Tetapi kita tentu amat menyesalkan bila kemudian mereka memaksakan pandangannya kepada orang lain, melalui cara-cara kekerasan, “hate speech” atau bahkan dengan menghunuskan pedang atau meledakkan bom.

Tawassul dan do’a-do’a Gus Dur itu kini telah menyebar di mana-mana, dikasetkan , di CD kan, di Youtube kan, atau disimpan di HP, diputar berulang-ulang, didengarkan dengan penuh khusyu’ di kendaraan-kendaraan pribadi, dan dilantunkan para pengagumnya di berbagai kesempatan menghormat atau mendiskusikan Gus Dur. Beliau menyanyikannya dengan nada-nada elegi dini yang sendu, bagai sembilu yang menyayat-nyayat qalbu. Bait-bait do’a, salawat dan tawasul yang disenandungkan Gus Dur itu sesungguhnya tidaklah asing bagi para santri. Ia telah berabad ditembangkan di pesantren-pesantren dan surau-surau. Suara Gus Dur memang tak semerdu suara Hadad Alwi atau Abdul Halim Hafiz, penyanyi kondang dari Mesir atau lainnya. Tetapi lantunan Gus Dur, meski  bersahaja, terasa memiliki makna keindahan mitis dan magis yang menghunjam qalbu dan menyimpan rindu-rindu. Ini tentu karena Gus Dur melantunkannya dengan suara hatinya yang bening dan ketulusan cintanya yang penuh.

Di bawah ini adalah doa-doa yang selalu dibaca Gus Dur di samping do’a-do’a yang lain. Semua orang pesantren dan kaum Nahdliyyin mungkin sudah tahu atau bahkan hapal doa-doa itu. Doa-doa ini seluruhnya mengandung permohonan ampunan Tuhan. Do’a pertobatan yang secara literal berarti kembali kepada Tuhan. Ada juga di dalamnya yang memohon petunjuk ke arah jalan lurus (amal saleh) dan anugerah ilmu yang bermanfaat. Sebagian ada yang diawali dengan tawassul melalui Al-Musthafa, Nabi Muhammad Saw. Doa yang terakhir konon ditulis oleh Abu Nawas, sang cendikiawan dan sastrawan terkemuka yang jenaka tetapi amat cerdas itu. Hampir semua orang mengenal cerita-cerita jenaka orang ini dan mendongengkannya kepada anak-anak mereka, terutama menjelang tidur. Ia, ketika muda, konon, pernah menjalani kehidupan glamor, mabuk dan urakan, tetapi cara itu kemudian disadarinya akan mencelakakannya kelak. Tahun-tahun terakhir hidupnya Abu Nawas bertobat dan menjalani hidupnya sebagai seorang zahid, asketik.

Dengan doa-doa itu, kita tentu paham bahwa Gus Dur selalu mohon ampunan kepada Tuhan. Para Nabi, orang-orang arif, kaum sufi dan orang-orang yang rendah hati setiap hari mohon ampunan-Nya, ratusan dan ribuan kali.

Doa Pertobatan 1

مَوْلاَىَ صَلِّ وَسَلِّمْ دَائِمًا اَبَدًا
عَلَى حَبِيْبِكَ خَيْرَ الْخَلْقِ كُلِّهِمِ
يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا
وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ اْلكَرَمِ
هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِى تُرْجَى شَفَاعَتْهُ
لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ الْاَهْوَالِ مُقْتَحِمِ

Wahai Tuhanku,
Anugerahi kedamaian dan keselamatan
Selama-lamanya
Pada sang kekasih-Mu : Ahmad
Ciptaan-Mu yang  terbaik dari semuanya
Berkat al Musthafa, sampaikan maksud-maksudku
Ampunilah dosa-dosa yang lewat
Wahai Yang Maha Mulia

Al-Musthafa, dialah sang kekasih
Pertolongannya diharap-harap
Bagi setiap kegelisahan yang memuncak

Do’a Pertobatan 2 

إِلَهِى لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِى تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِى
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ اْلعَظِيْمِ
ذُنُوْبِى مِثْلُ عْدَادِ الرَّمَالِ
فَهَبْ لِى تَوْبَةً يَا ذَالْجَلاَ لِ
وَعُمْرِى نَاقِصٌ فِى كُلِّ يَوْمٍ
وَذَنْبِى زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِى
إِلَهِى عَبْدُ كَ اْلعَاصِىِى أَتَاكَ
مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَا كَ
وَاِنْ تَغْفِرْ فَأَ نْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ
وَاِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Wahai Tuhanku
Aku bukan orang yang pantas tinggal di surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Karena hanya Engkaulah
Satu-satunya yang bisa memberi ampun
dosa-dosa besar

Dosa-dosaku bak jumlah butir pasir di bumi
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Wahai Yang Maha Agung

Umurku berkurang setiap hari
Tetapi dosaku bertambah-tambah saja
Bagaimana aku sanggup menanggungnya

Wahai Tuhanku,
Hamba-Mu yang berdosa
Telah datang, telah datang
Mengakui begitu banyak dosa
Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu

Bila Engkau mengampuniku
Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni
Tetapi bila Engkau menolakku
Kepada siapa lagi aku bisa berharap

Do’a (3) 
Pertobatan, Amal saleh dan Ilmu Yang bermanfaat
أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا    أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَ
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا        وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا

Aku mohon ampunan Tuhan
Dari segala kesalahan
Aku mohon ampunan Tuhan
Tuhan seluruh ciptaan-Nya
Tunjuki aku kerja yang baik
Tuhanku,
Tambahi aku pengetahuan yang berguna
Dalam berbagai kesempatan bersama Gus Dur, manakala diminta berdoa, beliau seringkali berdoa ini :

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً . إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Wahai Tuhan kami! Anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu dan tuntunlah kami pada jalan keselamatan.” (Q.S. al-Kahfi, [18]:10) dan diakhiri dengan do’a paling popular:

رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Wahai Tuhan, anugerahi kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat, dan lindungi kami dari siksa neraka”.(Q.S. Al-Baqarah, [2]:201).

Oleh: Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, Jawa Barat

Dzikir Yang Menghapus Dosa-Dosamu


Dzikir Yang Menghapus Dosa-Dosamu



Syekh Abdul Qodir Al-Jilany
Berapa kali anda belajar tetapi tidak pernah mengamalkannya? Karena itu sudah saatnya anda melimpat instistusi ilmu pengetahuan, saatnya sibuk dengan pengamalan dengan rasa ikhlas. Jika tidak anda tidak meraih keberuntungan sama sekali. Anda belajar pengetahuan belaka, berarti anda telah mendustai Allah Azza wa-Jalla melalui tindakan anda, berarti pula anda telah menarik tirai rasa malumu dari kedua matamu, lalu anda benar-benar menjadikannya sebagai obyek pandangan yang hina bagi yang melihatnya.

Anda telah meraihnya melalui hawa nafsumu, mencegahnya dengan nafsumu pula, bergerak dengan hawa nafsumu juga, maka hawa nafsu itulah yang menghancurkan anda. Raihlah semua dari Allah Azza wa-Jalla dalam seluruh perilaku anda dan amalkan dengan aturanNya. Bila saja anda mengamalkan ritual hukum belaka, anda akan sulit mengamalkan pengetahuan anda pada Allah Azza wa-Jalla. Ya Allah, sadarkan kami dari lelapnya orang-orang yang alpa. Amin.

Apabila dosa bertumpuk-tumpuk, maka datanglah bencana menimpamu. Namun bila anda taubat dan beristighfar kepada Tuhanmu Azza wa-Jalla, dan memohon kepadaNya, bencana itu hanya menimpa sekitarmu. Jika anda harus menerima cobaan, maka mohonlah kepada Allah Azza wa-Jalla agar diberi kesabaran dan keselarasan denganNya, hingga anda selamat dalam hubungan antara dirimu dengan DiriNya, sehingga yang terkoyak hanyalah fisik bukan batinnya, lahiriyahnya bukan batinnya, hartanya bukan agamanya. Maka cobaan akan menjadi nikmat, bukan penderitaan.

Hari orang munafiq, kalian hanya menerima ajaran dari Allah Azza wa-Jalla dan rasulNya sebatas formalitas belaka, bukan maknanya. Itu berarti anda dusta lahir batin, dan tentu saja anda hina di dunia dan di akhirat.

Orang yang maksiat itu hina dalam dirinya, dan pendusta itu pun  juga hina dalam dirinya. Hai para Ulama, jangan kotori ilmumu dengan pemburu dunia, jangan kau ikutkan sesuatu yang mulia dengan yang hina. Ilmu itu mulia, kehinaan itu adalah yang ada di tangan pemburu dunia.

Makhluk itu sendiri tidak mampu memberimu yang bukan bagianmu, namun ironisnya bagianmu  anda anggap berada di tangan mereka.  Bila anda sabar, bagianmu bakal tiba di atas apa yang ada di tangan mereka, dan anda tetap mulia.

Hati-hatilah! Siapa yang berambisi rizki malah tidak dapat rizki, dan siapa yang berambisi untuk diberi malah tidak diberi. Sibukkan dirimu dengan  aktivitas taat kepada Allah Azza wa-Jalla dan tinggalkan bersibuk ria memburu dunia. Allah Azza wa-Jalla lebih tahu kebutuhan dan yang mashlahah bagimu. Dalam hadits Qudsi Allah Azza wa-Jalla berfirman:

“Siapa yang sibuk berdzikir padaKu dibanding meminta padaKu, Aku beri dia, pemberian yang lebih utama dibanding apa yang Aku berikan pada orang-orang yang minta.”



Dzikir lisan saja, tanpa hati, tidak ada kemuliaan bagimu. Dzikir yang sesungguhnya adalah dzikirnya hati dan rahasia hati, baru menimbulkan dzikir lisan, dan berarti benar dzikir anda kepada Allah Azza wa-Jalla.

“Maka berdzikirlah kepadaKu, niscaya Aku mengingatmu, dan bersyukurlah kepadaKu dan jangan kufur padaKu.”  (QS. Al-Baqarah:152)



Dzikirlah kepada Allah Azza wa-Jalla, hingga engkau merasakan DzikirNya padaMu, dan dzikirlah kepadaNya sampai seluruh dosa-dosamu terhapuskan oleh dzikirmu, hingga dirimu sunyi dari dosa, lalu ta’at mu tanpa maksiat, maka disaat itulah Allah Azza wa-Jalla mengingatmu, dan anda tergolong orang yang berdzikir jauh dari mengingat makhlukNya, dzikirmu lebih dominan ketimbang permintaanmu, sampai semua tujuanmu adalah Dia mengalahkan semua tujuanmu yang ada.

Apabila Dia menjadi totalitas tujuanmu, Dia menjadikan kunci-kunci perbendaharaan kerajaanNya di hadapan hatimu. Sebab siapa yang mencintai Allah Azza wa-Jalla, ia tidak akan mencintai selain Dia, karena semua selain Dia sirna darinya. Bila cinta hamba padaNya berteguh dalam hatinya, cinta pada selain Dia akan keluar dari hatinya. Lalu seluruh anggota badannya meminum dari cinta itu, lahir batinnya aktif baik dalam gerak gerik maupun hakikatnya, lalu mempola dirinya untuk menjadi tidak biasa, jauh dari keramaian, dan bila sempurna penempuhan ini Allah Azza wa-Jalla telah mencintaiNya. Akal yang ada padamu senantiasa merenungkanNya. Kapankah anda menyendiri denganNya? Ingatlah malaikat maut bakal mendatangi anda, mencabut nyawa anda, memisahkan anda dari keluarga dan kekasih anda. Waspadalah, jangan sampai malaikat maut mencabut nyawa anda, sedangkan anda tidak senang bertemu dengan Allah Azza wa-Jalla, mengahadapNya di akhirat. Tunggulah maut itu, anda akan melihat yang lebih baik di sisiNya, dibanding apa pun di dunia.

Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan lindungi kami dari azab neraka.

Telaga Sufi di Bulan Suci

Telaga Sufi di Bulan Suci




Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa atas kamu sekalian, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa. (Al-Qur ‘an, Al-Baqarah 183)
Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas,

bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R) berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah (Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahayaAllah).

Karena itulah bulan suci Ramadlan disebut sebagai bulan Ridla, bulan Cinta, bulan Kasih Sayang, bulan Lindungan, bulan Cahaya, sekaligus sebagai bulan anugerah dan karamah bagi para auliya dan orang-orang yang berbuat kebajikan.

Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi lainnya.

Hari-hari yang penuh dengan dahaga dan lapar, malam-malam penuh keagungan dan anugerah kita arungi bersama-sama, agar kita bisa bersembunyi di balik tirai Ilahi dalam puasa yang sungguh-sungguh puasa: Puasa Hakiki.

Sebab, Ramadlan itu sendiri merupakan salah satu nama dari sekian nama Allah. Karenanya, bulan Ramadlan merupakan Bulan Ilahi, dimana Allah sendiri yang membalas pahala-pahala mereka yang berpuasa. Seakan-akan memang ada rahasia agung yang sangat pribadi antara Allah dengan para hamba-Nya. Setidak-tidaknya, hakikat takwa benar-benar dilimpahkan pada hamba-hamba Allah yang berpuasa, sebagaimana disebutkan “Haqqa Tuqaatih”, takwa yang hakiki.

Sebuah hadits menyebutkan, “Janganlah kalian semua mengatakan Ramadlan, sebab Ramadlan itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala.”
Maka Allah sendiri juga menyebutkan dengan kalimat “Syahru Ramadlan”, bukan Ramadlan saja. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya bulan ini, bahkan betapa Allah Ta’ala sampai membuat wahana yang amat istimewa dan khusus terhadap bulan Ramadlan tersebut.

Dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, - dalam Hadits Qudsi - “Allah Azzawa-Jalla berfirman: “Setiap amal manusia kembali padanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu hanya untuk- Ku, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri. Puasa itu merupakan tameng, manakala di hari puasa kalian, maka janganlah melakukan hubungan suami-istri dan jangan pula berbuat kotor. Maka apabila ada seserang memakinya, katakanlah :

“Aku ini orang yang berpuasa. Dan demi Dzat Yang Menguasai Jiwa Muhammad, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dibandingkan misik, di hari kiamat nanti. “

Dalam hadits lain disebutkan, “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.” (HR. Nasa’i)

Makna puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengangkat. Artinya mengekang segala keinginan yang mendorong kita untuk menyimpang dari perintah dan kehendak Allah, mengekang dari segala keinginan untuk berpaling pada selain Allah.

Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang tiada bandingnya, semata juga karena puasa itu merupakan jiwa penghapusan terhadap hal-hal yang berbau empiris. Sebab Ramadlan adalah nama Allah, suatu kegembiraan kita karena kita memasuki nama Allah. Sebab itulah puasa yang berarti meninggalkan, sangat berhubungan erat dengan proses hamba-hamba Allah dalam meninggalkan “keakuan, nafsu, dan seluruh sifat tercelanya” agar bisa fana’ ke hadirat Allah. Sebab dalam kata “meninggalkan” itu mengandung arti sebagai bentuk dari ketiadaan dan negasi, dan karenanya tidak ada bandingannya. Maksudnya, memasuki bulan Allah berarti juga tidak bisa membandingkan Allah dengan lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Tiada satu pun misal bagi-Nya. “

Intinya, puasa itu merupakan ibadah yang bisa menyempumakan spiritualitas para hamba. Bentuk-bentuk pengekangan itu sendiri mengandung pelajaran yang amat mahal nilainya. Setahun dalam 12 bulan, Allah memberi anugerah satu bulan saja, agar hamba-hamba-Nya menjadi merdeka. Merdeka dari seluruh ikatan duniawi, dan fana ‘kepada Allah dalam lembah bulan suci ini.

Mereka yang yang sedang menjalani bulan puasa, hakikatnya menempuh jalan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hanya saja ada tipikal manusia berpuasa, sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia tidak mampu menahan godaan hawa nafsunya. Ada juga yang mampu menahan dahaga, sekaligus menahan diri dhahir dan batinya dari segala yang diharamkan Allah. Puncaknya adalah mereka yang berpuasa, menahan diri dari godaan fisik dan batin, sekaligus fana’ dalam Allah. Yang terakhir inilah disebut sebagai puasa Khawasul Khawas. Puasa dari segala hal selain Allah. Hanya kepada Allahlah dirinya hadir, dan tak ada lain kecuali kehadiran Allah dalam jiwanya.

Dalam tradisi Rasulullah SAW, bulan puasa merupakan bulan ubudiyah. Jika siang hari beliau menahan dari dari segala hal selain Allah, maka di malam hari beliau melakukan Qiyamul Lail, yang kelak disebut dengan tarawih, sebagai upaya bangkit dalam ma ‘rifatullah.

Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:

[B]Pertama,[/B] bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal, kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana penyaksian (musyahadahnya).

[B]Kedua,[/B] bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah, dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.

[B]Ketiga,[/B] di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman. Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana ‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul ‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.

[B]Keempat,[/B] di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi, kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah. Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan, dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang beriman adalah Rumah Allah).

[B]Kelima,[/B] munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya, ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah, sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu) dengan-Nya.

Mereka yang telah melakukan tradisi puasa sufistik, senantiasa akan merasakan puasa selama lamanya. Sebab di bulan Ramadlan itulah hamba Allah berada dalam khauf dan raja’ (ketakutan dan harapan), lalu meningkat lagi menjadi dalam qabdl dan basth (ketergenggaman dalam Kuasa Ilahi dan keleluasaan dalam rahmat-Nya), bahkan ada yang mencapai haibah dan uns (dalam lembah Kharisma Ilahi sekaligus juga dalam pelukan kemesraan yang tiada tara). Maka puasa, sesungguhnya adalah “perjuangan jiwa” yang disebut sebagai jihadul akbar (perjuangan besar).



-M Luqman Hakiem-



Bulan Ilahi itu Ramadlan Namanya

Bulan Ilahi itu Ramadlan Namanya





Allah Turun ke muka bumi,
dengan Ridla, Mahabbah, Dloman, Ulfah, dan Nur-Nya.
Katanya bulan itu melebihi pendaran seribu purnama,
karena Senyum Ilahi membungkus Gairah RinduNya
Kecintaan Agung kepada para hambaNya.

Bulan itu, Ramadlan namanya.
Tak ada kenangan paling indah sepanjang masa,
kecuali kenangan yang tercitra jadi impian keabadian.
Allah, Meridloi kita, ketika kaki kita melangkah pertama, di pintu-pintu syurga.
Allah mengunci neraka, bara nafsu, dan memenjarakan liarnya hewani kita,
Allah membelenggu syetan-syetan yang berselingkuh di bilik urat nadi jiwa.
Lalu Allah memaafkan kita, Allah mencintai kita, Allah membebaskan kita.
Tak ada yang mengenang lebih panjang, lebih indah,
dibanding dengan pelaminan syurga di muka semesta.
Ketika dua pecinta berpandangan dengan cahaya jiwa,
lalu berpelukan dalam keteguhanhakiki,
lalu saling melepas dalam jarak kerinduan agungnya.

Ketika seluruh cahaya berkumpul,
Ruh-ruh suci menyatu,
milyaran Malaikat berhamburan,
dalam barisan-barisan yang digerakkan oleh
Kemahabesaran dan Kemahaindahan….
Disanalah Malam Kepastian (Lailatul Qadar):
Mahkota-mahkota Pengantin Ilahi dikenakan.
Keharuan yang melahirkan airmata.
Airmata yang yang bergolak dalam gelombang cinta dan kasih,
menjadi bahan-bahan jagad semestaraya.

Kelopak mata kita yang sembab ini
adalah kelopak “Kun’’, dan ketika “Fayakuun”,
airmata itu membelah pipi-pipi tulip Kemaha-IndahanNya,
dalam KemahabesaranNya.

Lalu selembar Lauhul Mahfudz di GenggamanNya
Sekadar untuk mencatat Kisah CintaNya,
Lalu disana tertulis

“Puasa ini hanya untukKu wahai hambaKu dan kekasihKu
Biar aku sendiri yang membalas cintamu, luruh kerinduanmu
Karena Aku mencintaimu”

Amboi, gulungan-gulungan ombak di di samuderaNya
Bunga-bunga dibermusim di Syajarah KauniyahNya
Mengembang dengan warna-warni:

RidlaNya
MahahabbahNya
DlomanNya
UlfahNya
NurNya

Lima macam bunga yang menghapus
seluruh keindahan dan semerbak semesta
Entah apa namanya, bidadarikah itu,
atau syurga-syurgaNya?

Yang jelas, tarian-tarian syurgawi itu mengepakkan sayap-sayap Keindahan
Sebab Mahkota Ilahi segera diturunkan, di selubung rahasia gua Hira
Dalam pelukan panglima Ruh
Jibril.

Dari kesunyian itu cahaya muncah menerangi kegelapan semesta
Kekafiran, kemusyrikan, kezaliman, ketidakadilan, ketakaburan
Kemunafikan, kefasikan, kecintaan duniawi
Keangkuhan, kepameran, ketakjuban diri,
Kekeroposan, kedengkian, dan irihati,
Tipusmuslihat, kedustaan, dan kebinatangan
Lapisan-lapisan kegelapan.
Hangus dalam cahayanya
Cahaya dari Maha Cahaya
Di Bulan Cahaya
Untuk lahirkanya Sayyidina yang bercahaya
Muhammad yang bercahaya
Agar lahir hamba-hamba yang bercahaya
Melalui malam paling bercahaya
Allahu Akbar!



-M. Luqman hakiem-

Berpuasa Yang Beradab


Berpuasa Yang Beradab
Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda dalam Hadits Qudsinya, “Allah swt. berfirman:
Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya’.” (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, Malik, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata:
Jika ada orang bertanya, “Apa makna kekhususan puasa dari ibadah-ibadah yang lain. Sementara kita tahu bahwa seluruh amal adalah untuk-Nya dan Dia yang bakal membalasnya. Lalu apa makna Hadis Qudsi, ‘Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya’?”
Maka jawabannya adalah, bahwa Hadis tersebut memiliki dua makna: Pertama, bahwa puasa memiliki kekhususan dari ibada-ibadah fardhu yang lain. Sebab ibadah-ibadah fardhu yang lain merupakan gerakan anggota badan, dimana orang lain (makhluk) bisa melihat apa yang la lakukan. Sedangkan puasa tidak demikian karena puasa bukanlah ibadah gerakan badan. Oleh sebab itu, Allah swt. berfirman, “Puasa itu adalah untuk-Ku.”
Kedua, dalam firman-Nya yang menyatakan, “untuk-Ku” memiliki arti bahwa, “ash-Shamadiyyah adalah Dzat yang tidak memiliki rongga perut dan tidak butuh makan dan minum. “Maka barangsiapa berperilaku dengan akhlak-Ku, maka Akulah Yang bakal membalasnya dengan balasan yang tidak pernah terbersit  dalam benak manusia. “
Adapun makna firman-Nya, “Dan Akulah yang akan membalasnya, ”maka sesungguhnya Allah telah menjanjikan pahala untuk setiap perbuatan baik dengan jumlah dari satu hingga sepuluh kali lipatnya, dan dari sepuluh hingga tujuh ratus kecuali bagi orag-orang yang berpuasa, dimana mereka adalah yang masuk dalam kriteria orang-orang yang sabar.
Allah swt. berfirman:
"Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas." (Q.s. az-Zumar: 10).
Maka ibadah puasa dikecualikan dari ibadah-ibadah lain yang memiliki ganjaran terbatas dan tertentu. Karena puasa adalah kesabaran jiwa untuk tidak melakukan apa yang menjadi kebiasaannya, mengekang anggota badan dari seluruh kesenangannya. Maka orang-orang yang berpuasa adalah orang-orang yang sabar.
Searti dengan makna di atas adalah Hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw yang bersabda:
“Jika engkau berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisan dan tanganmu juga ikut berpuasa.” (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
Beliau juga bersabda:
"Jika salah seorang di antara kalian berpuasa maka hendaknya tidak berkata keji dan fasik. Jika ada seseorang yang mengumpatnya hendaknya ia mengatakan, Saya sedang berpuasa’.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa ‘’ Sangat bergantung pada sah (benar)nya tujuan seseorang, menghindari kesenangan nafsu (syahwat)nya, menjaga anggota badannya, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah : tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah, tidak melihat puasa yang ia lakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menunaikan puasanya. Maka inilah adab orang yang berpuasa.
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah at-Tustari - rahimahullah - bahwa la makan dalam setiap lima belas hari sekali. Jika bulan Ramadhan tiba la hanya makan sekali dalam satu bulan. Kemudian saya menanyakan hal tersebut kepada sebagian guru-guru Sufi. Maka ia menjawab, “Setiap malam la hanya berbuka dengan air bersih saja.”
Dikisahkan dari Abu Ubaid al-Busri - rahimahullah - bahwa ketika bulan Ramadhan tiba, la masuk rumah dan segera mengunci pintunya lalu berpesan kepada istrinya, “Setiap malam tolong lemparkan sepotong roti lewat lubang dinding (ventilasi).” la tidak akan keluar dari kamar sehingga bulan Ramadhan berakhir. Tatkala tiba hari Raya dan istrinya masuk di kamar, la menemukan tiga puluh potong roti tertumpuk di sudut kamar.


Adapun puasa sunnah, maka sebagian syekh (guru) Sufi senantiasa melakukannya, baik sedang bepergian maupun berada di rumah sampai mereka bertemu Tuhannya. Sementara mereka membiasakan berpuasa karena Rasulullah saw bersabda, “Puasa adalah benteng.” (H.r. Nasa’i dari Mu’adz bin Abi Ubaidah. Baihaqi dari Jabir, Ahmad dan Bukhari dari Abu Hurairah) Sementara itu Rasulullah tidak menjelaskan bentang dari apa pun. Sehingga kaum Sufi mengatakan, bahwa puasa adalah benteng dari api neraka di akhirat kelak. Karena puasa bagi orang yang berpuasa - sewaktu di dunia - merupakan benteng dari anak panah musuh-musuh manusia yang mengajaknya ke neraka. Mereka adalah setan, hawa nafsu, dunia dan syahwat.
Maka orang yang memilih untuk selalu berpuasa berarti ia berusaha membentengi dirinya dengan benteng agar selamat dari tipudaya musuh-musuhnya. Sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menang dan menceburkannya ke neraka.
Saya pernah mendengar Ahmad bin Muhammad bin Sunaid, seorang Hakim di Dinawar berkata: Saya mendengar Ruwaim berkata, “Aku pernah keliling kota Baghdad di siang hari yang sangat panas, sehingga aku haus. Kemudian aku mendatangi pintu rumah seseorang untuk minta air minum. Ternyata seorang pembantu perempuan membukakan pintu dan keluar dengan membawa kendi baru yang berisi air dingin. Tatkala aku mau mengambil air dari tangannya, la berkata kepadaku, `Celaka kau! Seorang Sufi minum di siang hari!’ Kemudian la membanting kendi itu ke tanah dan berpaling meninggalkanku. Aku merasa malu dengan perempuan itu dan aku bernadzar untuk selalu berpuasa dan tidak pernah membatalkannya untuk seumur hidup.”
Sementara itu sebagian kelompok lain memilih berpuasa seperti Nabi Dawud a.s. Sebab ada riwayat dari Nabi saw yang bersabda:
“Sebaik-baik puasa adalah puasa saudaraku, Dawud a.s. la sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa.” (H.r. Bukhari Muslim dan Ashhabus-Sunan).
Mereka mengemukakan tentang makna sabda Nabi saw, “Sebaik-baik puasa.” karena memang puasa Nabi Dawud adalah puasa yang paling berat. Mereka juga mengatakan, bahwa puasa ini lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada puasa setahun penuh.Sebab nafsu seseorang yang telah terbiasa dengan puasa terus-menerus akan berat bila la tidak berpuasa. Demikian juga sebaliknya, jika nafsu seseorang telah terbiasa tidak berpuasa, maka akan berat bila la berpuasa. Sedangkan puasa Dawud, dimana sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa tidak akan memberikan kebiasaan nafsu untuk berpuasa atau tidak berpuasa. Oleh karenanya ada orang yang mengatakan, bahwa puasa Dawud adalah puasa yang paling berat.
Dikisahkan, bahwa Sahl bin Abdullah - rahimahullah - berkata, “Jika Anda kenyang maka mintalah lapar kepada Dzat Yang telah mengujimu dengan kekenyangan. Dan jika Anda lapar maka mintalah kenyang kepada Dzat Yang mengujimu dengan kelaparan. Kalau tidak, Anda akan berlebihan dan berkepanjangan.”
Abu Abdillah Ahmad bin Jabban - rahimahullah - berpuas selama lebih dari lima puluh tahun.Ia tidak pernah membatalkan puasanya, baik ketika sedang bepergian maupun saat di rumah. Suatu hari teman-temannya memaksanya untuk tidak berpuasa, Akhirnya la membatalkan puasanya. Setelah itu la sakit beberapa hari akibat la membatalkan puasanya, dan hampir saja ia tidak bisa melakukan yang fardhu.
Orang yang tidak suka membiasakan berpuasa la akan tetap tidak suka, sebab nafsu akan suka pada kebiasaannya. Jika ia telah terbiasa dengan sesuatu maka la akan melakukannya karena kesukaannya, dan bukan karena memenuhi kewajiban. Maka adab dalam hal ini hendaknya tidak digabungkan antara kewajiban yang harus dipenuhi dengan kebiasaannya, meskipun itu ibadah atau ketaatan. Sebab nafsu akan selalu cenderung pada kesukaannya dan tidak mampu memenuhi kewajibannya, dimana la diciptakan secara kodratinya menghindar dari ketaatan-ketaatan. Maka ketika la telah terbiasa dengan suatu bab atau bagian ibadah, ia mengiranya orang yang paling tahu tentang ibadah dan orang yang memiliki pengetahuan tentang ibadah dan tipu dayanya.
Dikisahkan dari Ibrahim bin Adham - rahimahullah -yang mengatakan, “Aku pernah berteman dengan seorang yang banyak berpuasa dan shalat. Aku kagum dengan apa yang ia lakukan. Kemudian aku melihat apa yang la makan. Ternyata makanannya diambil dari sumber yang tidak baik. Kemudian aku memerintahnya “keluar” dari apa yang la miliki dan kuajak mengembara. Ia kuberi makan dari makanan yang kuketahui kehalalannya dan kuridhai. Tatkala la telah bersahabat denganku dalam beberapa waktu aku perlu “memukulnya” dengan cambuk agar ia mau melakukan hal yang fardhu.
Adapun kaum Sufi dan orang-orang fakir yang membersihkan diri dari selain Allah, dimana mereka telah memutus hubungan dengan makhluk, meninggalkan hal-hal yang maklum, rela dengan rezeki yang dibagikan Allah kepadanya, tidak tahu kapan Allah akan mengirim rezekinya dengan penuh kegaiban dan lewat tangan siapa rezekinya diberikan, maka waktu mereka adalah lebih sempurna daripada waktu orang yang berpuasa yang makanannya untuk berbuka telah diketahui. Jika mereka berpuasa maka tidak ada yang sanggup menandingi keutamaan puasanya.

Sementara itu bagi orang-orang fakir yang telah saya sebutkan di atas juga memiliki adab (etika) dalam berpuasa. Di antaranya adalah hendaknya salah seorang di antara mereka tidak berpuasa sendirian tanpa mendapatkan izin dari sahabat-sahabatnya. Sebab jika la berpuasa akan merepotkan hati teman-temannya dalam menyiapkan makanan untuk berbuka, sementara mereka dalam kondisi yang belum diketahui. Jika salah seorang dari mereka berpuasa sendirian setelah mendapat izin teman-temannya, kemudian ada makanan yang dikirimkan kepada mereka, maka orang-orang yang tidak berpuasa tidak wajib menunggu hingga saat temannya berbuka. Sebab barangkali dl antara jamaah ada yang membutuhkan makanan tersebut atau bahkan barangkali karena ada yang berpuasa akan datang rezeki lain di saat la hendak berbuka. Lain halnya jika orang yang berpuasa itu lemah, maka sebaiknya mereka menunggu hingga saatnya berbuka demi membantu yang lemah, atau jika yang berpuasa itu seorang guru Sufi (syekh) maka sebaiknya juga ditunggu hingga saatnya berbuka demi menghormatinya. Sementara itu orang yang berpuasa tidak boleh mengambil bagian untuk dirinya yang kemudian la simpan untuk dimakan saat berbuka. Sebab hal itu menunjukkan lemahnya kondisi spiritual seseorang. Kecuali jika la lemah, maka la boleh melakukannya karena memang la lemah.
Jika mereka adalah kumpulan orang-orang yang biasa berpuasa, sementara sebagian yang lain terdiri dari orang-orang yang tidak biasa berpuasa, maka orang-orang yang biasa berpuasa tidak boleh mengajak mereka pada kondisi spiritual yang mereka alami, kecuali kalau mereka ingin membantu berpuasa. Orang yang biasa berpuasa membantu orang yang tidak biasa berpuasa dengan menemani makan (tidak berpuasa) adalah lebih baik daripada orang yang tidak biasa berpuasa membantu dan menemani berpuasa orang yang; biasa berpuasa, kecuali bila terjalin persahabatan yang erat. Jika persahabatan itu sudah terjalin maka bantuan orang yang tida biasa berpuasa kepada orang yang biasa berpuasa dengan menemani berpuasa adalah lebih baik.
Dikisahkan dari al Junaid - rahimahullah - bahwa ia telah terbiasa berpuasa secara terus-menerus. Jika ada teman-temannya Yang datang kepadanya ia akan menemani makan mereka. Ia berkata, “Keutamaan saling membantu antar saudara tidaklah kurang berarti daripada keutamaan puasa bagi orang yang biasa berpuasa jika puasa itu sunnah.”
Dikatakan, “Jika Anda melihat seorang Sufi berpuasa sunnah maka Anda bisa menyangkanya, bahwa ada sesuatu dari dunia Yang berkumpul bersamanya.”
Jika mereka adalah sekelompok orang yang sudah menjalin persahabatan dan persaudaraan, sementara di antara mereka ada seorang murid (pemula) maka hendaknya mereka mendorongnya untuk berpuasa. Jika mereka tidak bisa membantu (menemani berpuasa) maka hendaknya memperhatikannya untuk tidak berpuasa dan membebaninya perintah dengan lemah lembut, serta tidak boleh membawa kondisi spiritual si murid pada kondisi spiritual mereka.
Dan jika dalam jamaah tersebut ada seorang guru Sufi (syekh) maka hendaknya mereka ikut berpuasa atau tidak berpuasa sebagaimana yang dilakukan gurunya kecuali bila guru tersebut merintah yang lain. Mereka tidak boleh menyalahi perintah gurunya, sebab seorang guru Sufi lebih tahu apa yang lebih maslahat dan terbaik bagi mereka.
Dikisahkan dari sebagian para guru Sufi (syekh) yang mulia, bahwa la pernah berkata, “Saya pernah berpuasa demikian dan demikian yang bukan karena Allah.” Karena saat itu ada seorang anak muda yang la temani. Ia berpuasa agar dilihat dan dlikuti oleh anak muda tersebut, sehingga la bisa terdidik, la ikut berpuasa karena puasa gurunya.
Saya melihat Abu al-Hasan al-Makki - rahimahullah - di Basrah, dimana la termasuk orang yang selamanya terus berpuasa. Ia hanya makan sepotong roti setiap malam Jumat. Dan makanannya -sebagaimana disebutkan- dalam sebulan hanya sekitar empat daniq (perdaniq: seperenam dirham, pent.) yang la kerjakan sendiri dengan tangannya. Ia bekerja sendiri dengan memintal tali sabut dan kemudian menjualnya. Ibnu Salim malah sempat tidak menegurnya, dimana la pernah berkata, “Saya tidak akan mengucapkan salam padanya sampai la tidak berpuasa dan mau makan roti.” Sebab la terkenal dengan meninggalkan makan.
Saya juga mendengar sebagian orang yang bersikap kesederhanaan (wasith) telah melakukan puasa bertahun-tahun selalu membatalkan puasanya (berbuka) sebelum matahari terbenam kecuali di bulan Ramadhan. Sebagian kaum ada yang menentang tindakan yang la lakukan. Sebab tindakan tersebut menyalahi aturan keilmuan, meskipun itu puasa sunnah. Sementara ada pula kaum yang menganggapnya baik. Sebab pelakunya hanya bertujuan melatih dirinya lapar dan la tidak menikmati pahala yang dijanjikan untuk orang-orang yang berpuasa dan sama sekali tidak cenderung pada pahala tersebut.
Sedangkan menurut hemat kami, orang yang mengingkari tindakan itu juga benar. Sebab jika la berkeyakinan bahwa la melakukan puasa maka la wajib memenuhi syarat-syarat yang ada. Jika ia tidak berkeyakinan melakukan puasa maka la berada di jalan orang-orang yang tidak serius. Sehingga la tidak bisa disebut orang yang berpuasa. Semoga Allah memberi taufik pada kita.
Diceritakan dari asy-Syibli - rahimahullah - bahwa ia pernah berkata, “Apakah seseorang bisa dikatakan baik bila berpusa selamanya.” la melanjutkan pertanyaannya, “Lalu bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan puasa selamanya.” la melanjutkan ucapannya, “Jadikanlah sisa umurmu sehari kemudian Anda berpuasa pada hari itu.”
Inilah apa yang sempat terekam saat ini dari adab puasa para Sufi (dan Allah Yang memberi kita pertolongan pada kebenaran). Syeikh Abu Nashr as-Sarraj